Hari-hari ini tidak sedikit orang yang acuh tak acuh dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan ataupun berbagai hal yang terjadi di ranah publik. Sebagai contoh, dahulu saat penulis masih menjadi santri, penulis memiliki pemikiran yang acuh dengan apa yang terjadi diluaran sana bahkan cenderung tidak ingin mengerti dan memahami walaupun sekadarnya saja. Mungkin ini yang disebut egois.
Tindakan semacam ini nyatanya tidak menambah derajat kepakaran ataupun menguasai banyak ilmu dalam waktu singkat dengan hanya fokus diri dan acuh. Tetapi justru sebaliknya, menumpulkan kekritisan akal dalam melihat problem keumatan atau dunia pada umumnya. Padahal peka adalah barang wajib yang harus dimiliki oleh da’i, mubaligh bahkan oleh kebanyakan manusia.
Related: Selembut Debu, Melampau Kelabu
Manusia sebagai khalifah memiliki peranan penting sebagai pelangsung kehidupan di dunia. Manusia menjaga, merawat dan memelihara keadaan di dalamnya agar tetap stabil dan aman untuk ditinggali. Sehingga, segala hal yang mampu memajukan dunia dan peribadahan pada khususnya harus dijalankan. Begitupula sebaliknya, perkara yang dapat merusak kehidupan di dunia harus dijauhi.
Ibarat ingin mendaki gunung, hal yang perlu dilakukan adalah analisis terhadap karakteristik gunung yang tinggi, curam, dingin ataupun basah. Setelah diketahui, hal selanjutnya tinggalah menentukan pakaian yang sesuai. Apakah jaket tebal atau justru kemeja pantai yang perlu digunakan? Apakah makanan berenergi ataukah justru kerupuk usek yang menjadi bekal? Inilah pentingnya kita menyingkirkan egoisme diri demi keselamatan yang keuntungannya sudah barang tentu Kembali ke diri sendiri.
Contoh Hakiki
Dalam hal ini, nabi telah menunjukkan kepada umatnya kelihaian beliau dalam memahami situasi, ketika beliau memerintahkan pada beberapa sahabat yang dipimpin ‘Ustman bin ‘affan Radhiyalahu ‘anhu untuk berhijrah dari Makkah menuju Habbasyiah. Dengan pertimbangan kekuatan kaum muslimin yang semakin melemah dan diskriminasi yang menjadi-jadi dari kaum musyrikin Quraisy. Nabi dengan tuntunan dari Rabb semesta dan keluasan ilmunya sungguh memilih keputusan yang tepat. Itulah melek situasi.
Berkata ibnu mas'ud:
قال عبد الله بن مسعود: رحم الله امرئ عرف زمانه فاستقامت طريقته
"Semoga Allah merahmati seseorang yang memahami dinamika zamannya lantas mengambil sikap pada jalannya"
Dengan demikian, lika-liku zaman yang sedemikian ini kerumitannya harus kita mengerti dan pahami. Sehingga menjadi jelaslah kebathilan dan segala perangkapnya, serta menjadi jelas pula kebenaran dan anak turunnya yang kemudian pada akhirnya mampu kita ikuti. Oleh sebab itu, A-Qur’an bersifat menuntun kepada kebenaran namun tidak menutup mata kepada kesalahan kaum terdahulu,
"Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa." (Al-An’am:55)
Maka, konsekuensi menjadi muslim yang hakiki adalah melek kepada perkembangan zaman. Islam yang semakin jauh dari sumbernya ini akan selalu dinamis mengikuti alur. Namun tidak pada sebagian pengikutnya yang kadang terdistraksi dari ajaran islam. Tidak sedikit yang justru ikut terseret arus mengikuti tren berpakaian dan berfikir ala-ala barat. Tidak sedikit pula yang saling berlomba-lomba membanggakan kelompoknya.
مِنَ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍۭ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 32)
Contoh rill seperti hijab dan niqab yang sebagiannya pada zaman ini kehilangan esensi dan hanya menjadi style dunyawiyah. Tentu niat baiknya perlu diapresiasi namun ia lupa bahwa disamping raga yang tertutupi ada kelakuan yang juga perlu disimpan rapi.
Kesimpulan
Related: Terbatas Agar Tidak Melampau Batas
Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa islam sangat menuntut penganutnya untuk memahami dinamika kehidupannya didunia. Yaitu hal-hal yang dapat mendukung keberlangsungan peribadahan dalam kehidupan, serta tak luput harus dimengerti pula segala macam tipu daya dan perangkap dunia. Tak lain agar kita mampu meracik peta jalan keselamatan untuk dilalui bersama.
Di atas hanyalah contoh kecil bahwa disrupsi agama semacam ini lah yang tentunya harus kita pahami dengan baik sehingga mampu kita warning-kan pada diri atau keluarga. Menjadi percuma jika agama yang begitu kompleks ini malah tertutupi oleh apatisme serta egoism personal. Oleh sebab itu, realitas yang ada tentunya harus kita cermati dengan bijak. Sehingga dakwah perbaikan menjadi lebih terarah dan sistematis.
Tentunya banyak cara dalam memahami lika-liku dunia ini. Diantaranya memperdalam literasi, membaca berita dengan memperkaya sudut pandangnya, ngangsu kaweruh dengan para ulama’ dan ilmuwan serta masih banyak lagi. Berusaha menjadi teropong kehidupan bagi sesama. Dan yang terpenting adalah sebagaimana yang telah di wanti-wanti oleh Buya Hamka,
"Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah."
Melek situasi adalah prestasi, inilah barang mahal zaman ini.
Posting Komentar