![]() |
pexels.com/Davyd Bortnik |
Sudahkan
pembaca ketahui bahwa sebagian ular mampu menelan habis mangsa yang sebesar
kambing atau lebih? Ya, bahkan lebih mirisnya, tidak sedikit korban manusia
yang tercatat tertelan oleh ular. Lantas semengerikan apa rahang ular ini
sehingga dapat membuka mocongnya begitu lebar?
Sebagian ular
Allah ciptakan memiliki tulang di bagian belakang rangka tengkoraknya yang
bernama tulang kuadrat (quadrate bone). Tulang inilah yang sangat
berkonstribusi dalam pembukaan rahang ular hingga beberapa ular mampu
memangapkan mulutnya selebar 175 derajat. Namun hebatnya, ini baru salah satu
faktor mengapa ular dapat memakan buruan yang melebihi besar tubuhnya. Coba
perhatikan gambar dibawah ini:
Betul, bukan
hanya sendi rahang yang menempel pada kerangka kepala saja yang dapat elastis.
Namun, sisi rahang bawah sebelah kanan dan kirinya pun dapat berpisah. Bukannya
disatukan oleh tulang, rahang bawah ular justru ditengahi oleh ligamen yang
dapat memanjang elastis.
Kemudahan dan
keleluasaan ular inilah yang menjadikannya leluasa memakan mangsa yang
berkali-kali lipat lebih besar ketimbang tubuhnya sendiri. Apalagi ditambah
lambung dan kulitnya yang juga mampu elastis menjadikan ular semakin mudah
menelan apa yang menjadi buruannya.
Terbatas Agar Tidak Melampau Batas
Dari uraian
diatas boleh lah kita jadikan analogi bagi manusia. Tidak sedikit orang yang
berakhir mengeluh dan menyalahkan takdir karena merasa tidak mendapat keadilan
dari ketentuan Allah.
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya
dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah
memuliakanku"(15) Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya
maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku"(16)” (Al-Fajr:
15-16)
Padahal
terkadang Allah membatasi rezeki manusia sesuai dengan takaran yang telah allah
tentukan, tidak lebih adalah sebagai sarana menjaga diri agar tidak bersifat
rakus dan tamak. Agar lebih terang, mari kita menyimak firman Allah subhanahu
wa Ta’ala:
وَلَوْ بَسَطَ ٱللَّهُ ٱلرِّزْقَ لِعِبَادِهِۦ
لَبَغَوْا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ ۚ إِنَّهُۥ
بِعِبَادِهِۦ خَبِيرٌۢ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya
tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa
yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan)
hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Surah Asy-Syura: 27)
Dalam tafsir Hidayatul
Insan bi Tafsiril Qur'an Marwan Hadidi bin Musa mengatakan bahwa: ayat ini
berkenaan dengan ahlus shufah yang berkata “seandainya kamu punya ini maka kamu
akan demikian dan demikian” mereka berangan-angan, lantas turunlah ayat ini.
Manusia dalam
kenyataanya memiliki tabiat yang beraneka ragam. Namun mudahnya, sebagai contoh
adalah rezeki berupa kekuasaan. Seseorang yang memiliki kekuasaan tentunya ia
akan lebih mudah mengakses berbagai hal. Mulai dari keuangan, jabatan, bisnis
hingga pengaruh sosial. Sehingga, seorang yang memiliki kekuasaan mempunyai
satu lubang resiko kesempatan yang besar pula untuk berlaku di luar batasannya.
Oleh sebab itu, boleh dikatakan pula bahwa kemudahan dan keleluasaan inilah
yang menjadi salah satu faktor berlakunya kesewenang-wenangan. Belum lagi
ditambah faktor hawa nafsu yang selalu condong kepada keburukan.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.” (Surah Yusuf: 53)
Maka, jika kita
tarik kembali ayat yang di awal sudah penulis jabarkan akan ada benang merah
yang saling berkelindan. Bahwa kemudahan dan kehancuran terkadang memang dua
sisi mata uang. Oleh sebab itu Allah menurunkan rezeki dalam jumlah tertentu
sesuai dengan kabijaksanaanNya, tabiat manusia, dan sesuatu yang cocok untuk manusia
berupa kekayaan atau kefakiran.
Tentu bukan
berarti kemudahan dan keluasan bagi seseorang menjadi hal yang dilarang. Substansinya
ada pada diri seseorang tersebut. Jika dirasa mampu bertanggung jawab dan
memiliki skill dalam keahliannya, tentunya hal ini akan lebih berarti dan
bermanfaat. Sebagaimana nabiyullah Yusuf ‘alaihissalam Ketika meminta
dijadikan sebagai bendaharawan negeri Mesir.
“Berkata
Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan" (Surah Yusuf: 55)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Meminta menjadi
pemimpin adalah sesuatu yang diolok Rasulullah, namun permintaan Yusuf ini
kerena itu merupakan jalan untuk berdakwah kepada Allah, memberi keadilan
kepada masyarakat, menghilangkan kezaliman yang mereka alami, dan melakukan
berbagai kebaikan yang dahulu tidak pernah mereka lakukan sebelumnya.
Nirfaidah, Nihil
dan Mustahil
Pada hakikatnya, pandangan seorang muslim
harus selalu objektif dalam menilai segala hal yang ia hadapi. Termasuk dari
ujian sakit, kekurangan rezeki ataupun minus keberuntungan lainnya. Tidak lain
kesemuanya mengandung hikmah yang pada akhirnya menjadi bahan renungan untuk
mengangkat kualitas diri. Nyatanya, pada kekurangan dan kesulitan selalu ada education
value yang umumnya menjadi pemicu loncatan, pengobar semangat dan penghias
hikayat kehidupan. Paling minimal menjadi alasan paling logis untuk bisa
disebut berjuang. Nirfaidah itu nihil dan mustahil dalam rumus kehidupan.
Inti dari kesemua itu adalah agar kita lebih
banyak menunduk daripada mendongak angkuh. Menunduk untuk berbisik ke arah
bumi, namun didengar oleh seantero langit. Wasjud waqtarib… Wallahu
ta’ala a’lam.
Posting Komentar