Selembut Debu, Melampau Kelabu

 

Pexels/Stefan Stefancik

Ada sebuah syair yang baik untuk dihafal dan menarik menjadi motivasi. Syair ini tercantum di dalam Khulasah Ta’dzhimul ‘Ilmi karya Asy-Syaikh Shalih Al-‘Ushaimi,

 

كن رجلا رجله على الثرى ثابته # وهامة همته فوق الثرايا سامقة

“jadilah orang yang kakinya menapak kokoh di atas tanah, akan tetapi cita-cita dan tekadnya bergelantungan di atas langit”


Menapak Di Atas Tanah

Seseorang yang menapak kuat di atas tanah berarti dalam pendirian yang kokoh. Sabar Ketika mendapatkan cobaan sehingga tidak mudah runtuh, namun tetap bersyukur ketika mendapatkan nikmat sehingga tidak takabbur. Atau bolehlah kita sebut sebagai pribadi yang tahan banting dari dua sisi sekaligus, yaitu sisi sabar dan syukur.

Menapak kuat di atas tanah juga bisa diartikan sebagai “Tawadhu” atau rendah diri. Oleh sebab itu, keadaan terbaik seorang hamba adalah tatkala telah bersentuhan kening mukanya pada muka tanah, seakan Allah ingin selalu mengingatkan bahwa tempat yang dikau cium saat ini adalah asalmu dahulu dan kembalimu nanti. Seperti kacang dan kulitnya, selekat itulah manusia dan tanah.

Menapak tanah juga memberi sisi ruang lain dalam hal mencari ilmu. Imam Ghazali mendefinisikan sebagai “tamak” dalam keilmuan. Mencoba menjadi ketel yang selalu kosong untuk senantiasa bisa diisi dengan air yang menyegarkan. Lantas membagikan kesegarannya pada gelas-gelas kosong yang lain. Jika sekali tertutup ketel itu, maka tentulah menjadi nihil kandungan mineralnya dan membusuklah ia.

Sesungguhnya aku melihat genangan air yang diam itu merusak dirinya sendiri. Jika air itu mengalir maka ia menjadi jernih (memberi kebaikan) namun ketika berhenti mengalir maka hilanglah kejernihannya (merusak). (Imam Asy-Syafi’i)

Di sisi lain, tidak sedikit pula kita dengar orang yang gerak-gerik juangnya tidak begitu nampak, namun hasil nyatanya dapat kita temui justru setelah kematiannya. Seperti dalam ungkapan seorang salaf:

“Berapa banyak kisah orang yang telah mati justru dapat menghidupkan hati dan berapa banyak kisah orang yang masih hidup namun malah membutakan mata”

 

Meninggi Berteman Matahari

Tidakkah kita cermati bahwa setiap kali khatib berkhutbah selalu memotivasi kita dengan sebuah ayat berorientasi tinggi. Titik ideal dan cita-cita bagi setiap muslim.

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali-Imran: 102)

“jangan sekali-kali kalian mati kecuali mati dalam keadaan muslim” sebesar dan setinggi apakah kiranya keadaan “Muslim” ini sehingga menjadi tagline kehidupan kita? Tidakkah kita teringat dengan finish dari jalur lomba kehidupan kita ini? Bukankah sesiapa yang akhir kalamnya adalah kalimat Thayyibah akan selamat dan masuk surga?

 

 قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَ آخِرَ كَلَامِهِ لَا إِلٰهَ إِلَّا الله دَخَلَ الْجَنَّةَ

Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang pada akhir ucapannya Laa Ilaaha Illallah, ia masuk Surga". (HR Abu Dawud, Ath-Thabrani dan Al Baihaqi)

Sedangkan dalam al-Qur’an, ada simpulan menarik terkait siapa yang disebut beruntung atau sukses:

 

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ ٱلْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ ٱلنَّارِ وَأُدْخِلَ ٱلْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلْغُرُورِ

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Ali-Imran: 185)

Dari uraian diatas telah jelaslah kenapa menjadi pribadi muslim merupakan tekad yang berorientasi tinggi. Mencoba bercita tinggi namun tanpa mengangkat telapak kaki. Meninggi melampau kelabu, namun tetap selembut debu. Sebab, mati dalam keadaan mengakar kuat keimanan di dalam hatinya merupakan puncak dari perjuangan hidup. Sungguh amat picik nan rugi seorang yang sukses dan berpangkat tinggi di dunia namun berakhir sengsara di akhirat.

 

Kesimpulan

Jadilah kita seorang yang bercita dan bertekad setinggi langit namun senantiasa berusaha bersifat tanah. Tetap kokoh berposisi namun matanya mengarah kesana-kemari mencari tujuan hakiki hidup. Dan tak lupa setingi apa cita dan tekad kita, pokok kuatnya hanyalah iman dan islam.

 

Izzudin Al-Hanan, 22 Dzulqi’dah 1445

Posting Komentar