![]() |
Pexels/JuliaMCameron |
Konsep disrupsi pertama kali diperkenalkan oleh Clayton M. Christensen pada tahun 1995 dalam artikelnya yang berjudul "Disruptive Technologies: Catching the Wave." Kemudian, teori ini lebih lanjut dijelaskan dalam bukunya "The Innovator's Dilemma." Menurut Christensen, disrupsi terjadi ketika produk atau jasa baru memasuki pasar dengan cara yang awalnya tidak menarik bagi pelanggan utama, namun secara bertahap mengembangkan kemampuan untuk menggantikan atau menggeser teknologi yang ada.
Contoh klasik dari disrupsi adalah bagaimana komputer pribadi menggantikan mesin ketik dan kemudian memulai dominasinya atas komputer mainframe di dunia komputasi. Komputer pribadi awalnya tidak sekuat atau secanggih mainframe, tetapi karena lebih terjangkau dan mudah digunakan, secara bertahap mereka mendapatkan penerimaan luas, yang pada akhirnya mengubah industri komputer secara keseluruhan.
Disrupsi tidak hanya terbatas pada produk teknologi. Ini juga bisa terjadi dalam layanan, proses bisnis, atau bahkan model bisnis yang mengubah cara perusahaan menghasilkan nilai dan bersaing di pasar. Misalnya, Uber dan Airbnb adalah contoh dari perusahaan yang mengganggu industri taksi tradisional dan sektor perhotelan dengan model bisnis berbasis platform yang memanfaatkan teknologi mobile dan internet.
Dampak dari disrupsi sering kali luas dan bisa menghasilkan efisiensi yang besar, inovasi lebih lanjut, dan pilihan yang lebih luas bagi konsumen. Namun, disrupsi juga dapat mengakibatkan tantangan signifikan, seperti hilangnya pekerjaan dan kesulitan bagi perusahaan yang tidak dapat beradaptasi dengan cepat. Oleh karena itu, memahami dan mengantisipasi disrupsi menjadi penting bagi pebisnis, pemimpin, dan pembuat kebijakan agar tetap relevan dan kompetitif di era yang cepat berubah ini.
Posting Komentar